''Dan tiadalah kehidupan dunia itu melainkan kesenangan yang dapat memperdayakan.'' (QS Al-Imran: 185). Dalam Alquran, ayat serupa terdapat juga di surat Al-Hadid (57) ayat 20.
Dari kedua ayat ini dapat disimpulkan, kita disuruh waspada dan hati-hati terhadap kesenangan yang sifatnya sementara, baik kesenangan itu berasal dari harta benda, pangkat, kedudukan, anak istri, keturunan, dan lainnya. Kesemuanya adalah kehidupan dunia yang kalau tidak pandai memanfaatkannya sesuai dengan peraturan Allah SWT, maka kita akan tertipu, sehingga menjadi orang yang kufur dan sengsara, di dunia maupun akhirat. Lihat QS Al-Imran (3) ayat 56 dan Ar-Ra'd (13) ayat 34.
Dan sebaliknya, jika kita pandai memanfaatkan sesuai dengan aturan Allah SWT, maka kesenangan itu akan bersifat abadi. Kalau ada istilah yang sering kita dengar, apalah artinya hidup di dunia ini yang cuma sebentar, kalau mati, toh harta dan pangkat itu tak akan dibawa mati.
Sepintas lalu, pernyataan itu memang benar, tapi bila kita lihat lebih jauh, ungkapan itu keliru besar. Seseorang yang berpikiran demikian, akhirnya menyepelekan kehidupan dunia, baik berupa pangkat maupun harta.
Padahal, dengan perantaraan harta dan pangkat itu, seseorang akan dapat beramal saleh yang lebih luas jangkauan manfaatnya, sehingga kehidupan mereka selalu baik, baik di dunia maupun sesudah kematian nanti. Hal ini sesuai dengan doa di QS Al-Baqarah (2) ayat 201. ''Berikanlah kami (kehidupan) yang baik di dunia dan (kehidupan) yang baik di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.''
Memang, dalam Alquran banyak ayat yang mengatakan, 'Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai permainan dan kelalaian' dan 'bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai kesenangan yang sedikit, sebagai kesenangan yang memperdayakan,' dan yang senada lainnya.
Padahal, maksud semua itu adalah supaya kita berhati-hati, sehingga tidak diperdayakan oleh harta benda, pangkat, dan keturunan, yang menghiasi kehidupan dunia ini.
Kalau diperhatikan, kesenangan-kesenangan sementara itu, jika dibandingkan dengan kesengsaraan yang akan diperoleh sesudah kematian nanti, maka kesenangan di awal itu hanyalah sedikit sekali, sekejap, dan tidak bisa dirasakan lagi setelah kematian itu.
Karena itu, Alquran sering mengatakan, 'Kesenangan di dalam kehidupan yang ada di hari-hari yang kemudian atau di akhirat dan sesudah kematian nanti adalah jauh lebih baik, lebih terpilih, dan lebih kekal abadi jika dibandingkan dengan kesenangan di dunia yang bersifat sementara dan sekejap.' (QS Al-An'am (6) ayat 32, At-Taubah (9) ayat 38, Al-A'la (87) ayat 17, dan Ad-Dhuha (93) ayat 4).
Jumat, 31 Oktober 2008
Kesenangan Yang Memperdaya
''Dan tiadalah kehidupan dunia itu melainkan kesenangan yang dapat memperdayakan.'' (QS Al-Imran: 185). Dalam Alquran, ayat serupa terdapat juga di surat Al-Hadid (57) ayat 20.
Dari kedua ayat ini dapat disimpulkan, kita disuruh waspada dan hati-hati terhadap kesenangan yang sifatnya sementara, baik kesenangan itu berasal dari harta benda, pangkat, kedudukan, anak istri, keturunan, dan lainnya. Kesemuanya adalah kehidupan dunia yang kalau tidak pandai memanfaatkannya sesuai dengan peraturan Allah SWT, maka kita akan tertipu, sehingga menjadi orang yang kufur dan sengsara, di dunia maupun akhirat. Lihat QS Al-Imran (3) ayat 56 dan Ar-Ra'd (13) ayat 34.
Dan sebaliknya, jika kita pandai memanfaatkan sesuai dengan aturan Allah SWT, maka kesenangan itu akan bersifat abadi. Kalau ada istilah yang sering kita dengar, apalah artinya hidup di dunia ini yang cuma sebentar, kalau mati, toh harta dan pangkat itu tak akan dibawa mati.
Sepintas lalu, pernyataan itu memang benar, tapi bila kita lihat lebih jauh, ungkapan itu keliru besar. Seseorang yang berpikiran demikian, akhirnya menyepelekan kehidupan dunia, baik berupa pangkat maupun harta.
Padahal, dengan perantaraan harta dan pangkat itu, seseorang akan dapat beramal saleh yang lebih luas jangkauan manfaatnya, sehingga kehidupan mereka selalu baik, baik di dunia maupun sesudah kematian nanti. Hal ini sesuai dengan doa di QS Al-Baqarah (2) ayat 201. ''Berikanlah kami (kehidupan) yang baik di dunia dan (kehidupan) yang baik di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.''
Memang, dalam Alquran banyak ayat yang mengatakan, 'Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai permainan dan kelalaian' dan 'bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai kesenangan yang sedikit, sebagai kesenangan yang memperdayakan,' dan yang senada lainnya.
Padahal, maksud semua itu adalah supaya kita berhati-hati, sehingga tidak diperdayakan oleh harta benda, pangkat, dan keturunan, yang menghiasi kehidupan dunia ini.
Kalau diperhatikan, kesenangan-kesenangan sementara itu, jika dibandingkan dengan kesengsaraan yang akan diperoleh sesudah kematian nanti, maka kesenangan di awal itu hanyalah sedikit sekali, sekejap, dan tidak bisa dirasakan lagi setelah kematian itu.
Karena itu, Alquran sering mengatakan, 'Kesenangan di dalam kehidupan yang ada di hari-hari yang kemudian atau di akhirat dan sesudah kematian nanti adalah jauh lebih baik, lebih terpilih, dan lebih kekal abadi jika dibandingkan dengan kesenangan di dunia yang bersifat sementara dan sekejap.' (QS Al-An'am (6) ayat 32, At-Taubah (9) ayat 38, Al-A'la (87) ayat 17, dan Ad-Dhuha (93) ayat 4).
Dari kedua ayat ini dapat disimpulkan, kita disuruh waspada dan hati-hati terhadap kesenangan yang sifatnya sementara, baik kesenangan itu berasal dari harta benda, pangkat, kedudukan, anak istri, keturunan, dan lainnya. Kesemuanya adalah kehidupan dunia yang kalau tidak pandai memanfaatkannya sesuai dengan peraturan Allah SWT, maka kita akan tertipu, sehingga menjadi orang yang kufur dan sengsara, di dunia maupun akhirat. Lihat QS Al-Imran (3) ayat 56 dan Ar-Ra'd (13) ayat 34.
Dan sebaliknya, jika kita pandai memanfaatkan sesuai dengan aturan Allah SWT, maka kesenangan itu akan bersifat abadi. Kalau ada istilah yang sering kita dengar, apalah artinya hidup di dunia ini yang cuma sebentar, kalau mati, toh harta dan pangkat itu tak akan dibawa mati.
Sepintas lalu, pernyataan itu memang benar, tapi bila kita lihat lebih jauh, ungkapan itu keliru besar. Seseorang yang berpikiran demikian, akhirnya menyepelekan kehidupan dunia, baik berupa pangkat maupun harta.
Padahal, dengan perantaraan harta dan pangkat itu, seseorang akan dapat beramal saleh yang lebih luas jangkauan manfaatnya, sehingga kehidupan mereka selalu baik, baik di dunia maupun sesudah kematian nanti. Hal ini sesuai dengan doa di QS Al-Baqarah (2) ayat 201. ''Berikanlah kami (kehidupan) yang baik di dunia dan (kehidupan) yang baik di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.''
Memang, dalam Alquran banyak ayat yang mengatakan, 'Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai permainan dan kelalaian' dan 'bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai kesenangan yang sedikit, sebagai kesenangan yang memperdayakan,' dan yang senada lainnya.
Padahal, maksud semua itu adalah supaya kita berhati-hati, sehingga tidak diperdayakan oleh harta benda, pangkat, dan keturunan, yang menghiasi kehidupan dunia ini.
Kalau diperhatikan, kesenangan-kesenangan sementara itu, jika dibandingkan dengan kesengsaraan yang akan diperoleh sesudah kematian nanti, maka kesenangan di awal itu hanyalah sedikit sekali, sekejap, dan tidak bisa dirasakan lagi setelah kematian itu.
Karena itu, Alquran sering mengatakan, 'Kesenangan di dalam kehidupan yang ada di hari-hari yang kemudian atau di akhirat dan sesudah kematian nanti adalah jauh lebih baik, lebih terpilih, dan lebih kekal abadi jika dibandingkan dengan kesenangan di dunia yang bersifat sementara dan sekejap.' (QS Al-An'am (6) ayat 32, At-Taubah (9) ayat 38, Al-A'la (87) ayat 17, dan Ad-Dhuha (93) ayat 4).
Celupan Ilahi
Dalam pengertiannya yang umum (generik), Islam mengandung makna kepatuhan dan kepasrahan manusia secara total kepada Allah SWT. Doktrin kepatuhan kepada Allah SWT ini dapat dipandang sebagai hakikat atau intisari dari ajaran semua agama samawi yang dibawa oleh para Nabi sejak dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW.
Dalam pengertian ini, semua Nabi dan Rasul Allah disebut Muslim, yaitu orang yang tunduk patuh serta berserah diri secara total pada kehendak Allah SWT. Sikap mental Islam inilah yang dipesankan oleh Allah SWT kepada para Nabi dan seluruh kaum beriman.
''Katakanlah (hai orang-orang Mukmin), Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. '' (QS Al-Baqarah: 136).
Doktrin Islam berupa sikap mental tunduk patuh kepada Allah SWT seperti dikehendaki ayat di atas disebut Allah SWT sebagai shibghah Allah SWT yang secara harfiah berarti celupan Allah SWT. Shibghah Allah SWT ini dipandang sebagai celupan terbaik, tanpa tandingan, karena mampu membentuk pribadi Muslim yang tunduk patuh serta bersujud hanya kepada-Nya. ''Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah.'' (QS Al-Baqarah: 138).
Menurut ulama tafsir Al-Razi, agama Islam dinamakan shibghah Allah SWT atau celupan Ilahi karena dua alasan. Pertama, seperti celupan, agama itu harus meresap atau diresapi hingga menembus ke lubuk hati yang paling dalam. Kedua, seperti celupan, agama itu harus membentuk jati diri, sosok, bahkan warna (citra) diri yang khas karena iman dan kepatuhannya yang tulus kepada Allah SWT.
Dengan celupan agama itu, manusia membangun dirinya menjadi Muslim sejati yang dalam pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut harus diupayakan melalui enam program. Pertama, iman dengan keyakinan yang menggetarkan hati. Kedua, ibadah dengan ketundukan secara mutlak kepada Allah SWT.
Ketiga, sosial dengan membangun hubungan dan kerja sama yang baik dalam kebajikan dan takwa. Keempat, akhlak al-karimah dengan menjaga kesucian diri dan keluhuran budi pekerti.
Kelima, dakwah dengan mengajak manusia ke jalan Tuhan melalui taushiyah dan amar makruf nahi munkar. Keenam, ikhlas dengan mengorientasikan semua aktivitas demi dan untuk Allah SWT semata. Tanpa memperhatikan celupan Ilahi, manusia akan tertipu oleh barang tiruan, yaitu celupan palsu buatan manusia yang akan membawanya terjungkal ke dalam kawah kemusyrikan dengan dosa tanpa ampun.
Dalam pengertian ini, semua Nabi dan Rasul Allah disebut Muslim, yaitu orang yang tunduk patuh serta berserah diri secara total pada kehendak Allah SWT. Sikap mental Islam inilah yang dipesankan oleh Allah SWT kepada para Nabi dan seluruh kaum beriman.
''Katakanlah (hai orang-orang Mukmin), Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. '' (QS Al-Baqarah: 136).
Doktrin Islam berupa sikap mental tunduk patuh kepada Allah SWT seperti dikehendaki ayat di atas disebut Allah SWT sebagai shibghah Allah SWT yang secara harfiah berarti celupan Allah SWT. Shibghah Allah SWT ini dipandang sebagai celupan terbaik, tanpa tandingan, karena mampu membentuk pribadi Muslim yang tunduk patuh serta bersujud hanya kepada-Nya. ''Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah.'' (QS Al-Baqarah: 138).
Menurut ulama tafsir Al-Razi, agama Islam dinamakan shibghah Allah SWT atau celupan Ilahi karena dua alasan. Pertama, seperti celupan, agama itu harus meresap atau diresapi hingga menembus ke lubuk hati yang paling dalam. Kedua, seperti celupan, agama itu harus membentuk jati diri, sosok, bahkan warna (citra) diri yang khas karena iman dan kepatuhannya yang tulus kepada Allah SWT.
Dengan celupan agama itu, manusia membangun dirinya menjadi Muslim sejati yang dalam pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut harus diupayakan melalui enam program. Pertama, iman dengan keyakinan yang menggetarkan hati. Kedua, ibadah dengan ketundukan secara mutlak kepada Allah SWT.
Ketiga, sosial dengan membangun hubungan dan kerja sama yang baik dalam kebajikan dan takwa. Keempat, akhlak al-karimah dengan menjaga kesucian diri dan keluhuran budi pekerti.
Kelima, dakwah dengan mengajak manusia ke jalan Tuhan melalui taushiyah dan amar makruf nahi munkar. Keenam, ikhlas dengan mengorientasikan semua aktivitas demi dan untuk Allah SWT semata. Tanpa memperhatikan celupan Ilahi, manusia akan tertipu oleh barang tiruan, yaitu celupan palsu buatan manusia yang akan membawanya terjungkal ke dalam kawah kemusyrikan dengan dosa tanpa ampun.
Menahan Diri
Insan terlahir suci laksana kertas putih tanpa noda. Tugas besar manusia sepanjang alur hidupnya adalah menjaga kesucian diri itu. ''Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri.'' (QS al-A'la: 14, Asy-Syams: 9).
Oleh sebab itu, perlu perisai diri untuk menangkis segala yang bukan hanya dilarang Allah SWT (haram), namun juga yang syubhat (sesuatu yang belum tegas halal-haramnya). ''Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat, sesungguhnya ia telah berhasil mencari kebersihan bagi agamanya dan nama baiknya sendiri.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Perisai diri itu adalah sikap wara' yang secara harfiah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Ibrahim bin Adham mendefinisikan wara' sebagai, ''Meninggalkan semua syubhat dan apa-apa yang tidak berarti baginya, yaitu semua hal yang tidak berguna dan sia-sia.''
Singkatnya, wara' adalah kehatian-hatian diri dari segala yang dipakai maupun yang dimakan, bukan hanya terhadap sesuatu yang haram tapi juga sesuatu yang syubhat dan tak berguna. Sikap wara' banyak dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu. Sufyan al-Tsauri, misalnya, bila tidak menemukan makanan yang halal dan bersih, dia rela untuk tidak makan berhari-hari. Lalu, Ibn al-Mubarak pernah kembali dari Khurasan ke Syam hanya karena lupa mengembalikan pulpen yang dipinjam dari temannya.
Kemudian, Ibrahim bin Adham pula pernah kembali dari Palestina ke Basrah hanya untuk mengembalikan satu biji kurma karena itu tidak termasuk yang ditimbang dan dibelinya. Masalah selanjutnya adalah mungkinkah mempraktikkan sikap wara' dalam zaman sekarang ini yang hampir-hampir sulit sekali membedakan mana yang halal dan mana yang haram?
Wara' bukan sikap antipati, tapi sikap kritis. Sebab, sikap wara' hanya mungkin dijalankan dengan ilmu. Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, melihat pentingnya pengetahuan seseorang tentang hukum syariat, khususnya berkaitan dengan yang dikonsumsi. Karenanya, ilmu syariat yang berkaitan dengan halal-haramnya sesuatu tergolong ilmu yang wajib dipelajari.
Selain ilmu, wara' juga harus berdasarkan fakta, bukan dugaan kosong. Wara' yang ekstrem, seperti melihat dunia seluruhnya sebagai syubhat, menjadikan seseorang meninggalkan dunia tanpa melihat kehalalan dan keharaman, termasuk sifat yang mengada-ada. ''Binasalah al-mutanaththiun (orang yang suka mengada-ada),'' sabda Nabi SAW. Hakikat wara' terletak pada sikap kritis dalam memilih dan memilah berlandaskan pada ilmu dan fakta.
Wara' bukan sesuatu yang mustahil untuk diaktualkan. Wara' hanya mustahil dilaksanakan oleh jiwa-jiwa yang telah terasuki sikap tamak (rakus) terhadap dunia.
Oleh sebab itu, perlu perisai diri untuk menangkis segala yang bukan hanya dilarang Allah SWT (haram), namun juga yang syubhat (sesuatu yang belum tegas halal-haramnya). ''Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat, sesungguhnya ia telah berhasil mencari kebersihan bagi agamanya dan nama baiknya sendiri.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Perisai diri itu adalah sikap wara' yang secara harfiah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Ibrahim bin Adham mendefinisikan wara' sebagai, ''Meninggalkan semua syubhat dan apa-apa yang tidak berarti baginya, yaitu semua hal yang tidak berguna dan sia-sia.''
Singkatnya, wara' adalah kehatian-hatian diri dari segala yang dipakai maupun yang dimakan, bukan hanya terhadap sesuatu yang haram tapi juga sesuatu yang syubhat dan tak berguna. Sikap wara' banyak dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu. Sufyan al-Tsauri, misalnya, bila tidak menemukan makanan yang halal dan bersih, dia rela untuk tidak makan berhari-hari. Lalu, Ibn al-Mubarak pernah kembali dari Khurasan ke Syam hanya karena lupa mengembalikan pulpen yang dipinjam dari temannya.
Kemudian, Ibrahim bin Adham pula pernah kembali dari Palestina ke Basrah hanya untuk mengembalikan satu biji kurma karena itu tidak termasuk yang ditimbang dan dibelinya. Masalah selanjutnya adalah mungkinkah mempraktikkan sikap wara' dalam zaman sekarang ini yang hampir-hampir sulit sekali membedakan mana yang halal dan mana yang haram?
Wara' bukan sikap antipati, tapi sikap kritis. Sebab, sikap wara' hanya mungkin dijalankan dengan ilmu. Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, melihat pentingnya pengetahuan seseorang tentang hukum syariat, khususnya berkaitan dengan yang dikonsumsi. Karenanya, ilmu syariat yang berkaitan dengan halal-haramnya sesuatu tergolong ilmu yang wajib dipelajari.
Selain ilmu, wara' juga harus berdasarkan fakta, bukan dugaan kosong. Wara' yang ekstrem, seperti melihat dunia seluruhnya sebagai syubhat, menjadikan seseorang meninggalkan dunia tanpa melihat kehalalan dan keharaman, termasuk sifat yang mengada-ada. ''Binasalah al-mutanaththiun (orang yang suka mengada-ada),'' sabda Nabi SAW. Hakikat wara' terletak pada sikap kritis dalam memilih dan memilah berlandaskan pada ilmu dan fakta.
Wara' bukan sesuatu yang mustahil untuk diaktualkan. Wara' hanya mustahil dilaksanakan oleh jiwa-jiwa yang telah terasuki sikap tamak (rakus) terhadap dunia.
Meluruskan Niat
''Sesungguhnya, amalan-amalan itu tergantung niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang diniatkannya. Maka, barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya diterima Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa yang niat hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu akan sampai pada yang diniatkannya.'' (HR Bukhari Muslim).
Niat dalam aktivitas setiap Muslim sangat penting, sehingga Imam Nawawi menempatkan hadis tersebut pada urutan pertama dalam kumpulan 41 hadis tentang kaidah-kaidah agung agama Islam yang biasa dikenal dengan hadis arbain.
Secara bahasa, niat berarti kehendak atau tujuan. Secara syara', niat berarti kehendak atau keinginan kuat yang diikuti dengan tindakan nyata. Esensi niat adalah tempat tujuan aktivitas dilakukan, bukan cara penyampaiannya. Niat secara lisan akan tetapi ditujukan kepada Allah SWT lebih baik daripada niat dalam hati, tetapi tidak sepenuhnya ditujukan kepada Allah SWT. Demikian pula sebaliknya.
''Aku adalah paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang melaksanakan amalan yang di dalamnya ia mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku berlepas diri darinya.'' (HR Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Al Baihaqi).
Sebuah aktivitas bernilai ibadah atau tidak tergantung dari niatnya. Sebagai contoh: Makan, belajar, tidur adalah aktivitas biasa, tetapi bila aktivitas itu hanya ditujukan kepada Allah SWT dan keridhaan-Nya, maka akan bernilai ibadah dan berpahala.
Namun, aktivitas yang dinamakan ibadah akan menjadi aktivitas biasa tanpa pahala ketika ditujukan kepada makhluk-Nya. Sebagai contoh: shalat sunah dan sedekah adalah ibadah, tetapi bila dilakukan hanya pada saat dilihat temannya, atasannya, atau orang lain, maka hanya menjadi aktivitas yang tak berpahala. Bahkan, bisa menghadirkan kemurkaan Allah SWT.
Terkadang ada yang salah kaprah menafsirkan sabda Rasulullah SAW ''Segala sesuatu tergantung niatnya'' itu. Sebagai contoh, orang yang salah kaprah atau semaunya sendiri akan menafsirkan melihat pornografi dan pornoaksi diperbolehkan dengan niat mentadabburi keindahan ciptaan Allah SWT. Padahal sudah jelas, pornografi dan pornoaksi adalah haram.
Demikian pula, penafsir yang semaunya sendiri itu tidak akan menganggap berdosa menyuap pejabat untuk meloloskan seleksi CPNS. Mereka berdalih menyuap itu diniatkan agar setelah bekerja nanti mempunyai penghasilan cukup dan keluangan waktu yang bisa menjaga keberlangsungan dakwah. Salah satu indikator bahwa niat kita lurus untuk Allah adalah ketika dilihat orang lain atau tidak, apakah semangat dan kualitas amalan kita tetap sama.
Niat dalam aktivitas setiap Muslim sangat penting, sehingga Imam Nawawi menempatkan hadis tersebut pada urutan pertama dalam kumpulan 41 hadis tentang kaidah-kaidah agung agama Islam yang biasa dikenal dengan hadis arbain.
Secara bahasa, niat berarti kehendak atau tujuan. Secara syara', niat berarti kehendak atau keinginan kuat yang diikuti dengan tindakan nyata. Esensi niat adalah tempat tujuan aktivitas dilakukan, bukan cara penyampaiannya. Niat secara lisan akan tetapi ditujukan kepada Allah SWT lebih baik daripada niat dalam hati, tetapi tidak sepenuhnya ditujukan kepada Allah SWT. Demikian pula sebaliknya.
''Aku adalah paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang melaksanakan amalan yang di dalamnya ia mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku berlepas diri darinya.'' (HR Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Al Baihaqi).
Sebuah aktivitas bernilai ibadah atau tidak tergantung dari niatnya. Sebagai contoh: Makan, belajar, tidur adalah aktivitas biasa, tetapi bila aktivitas itu hanya ditujukan kepada Allah SWT dan keridhaan-Nya, maka akan bernilai ibadah dan berpahala.
Namun, aktivitas yang dinamakan ibadah akan menjadi aktivitas biasa tanpa pahala ketika ditujukan kepada makhluk-Nya. Sebagai contoh: shalat sunah dan sedekah adalah ibadah, tetapi bila dilakukan hanya pada saat dilihat temannya, atasannya, atau orang lain, maka hanya menjadi aktivitas yang tak berpahala. Bahkan, bisa menghadirkan kemurkaan Allah SWT.
Terkadang ada yang salah kaprah menafsirkan sabda Rasulullah SAW ''Segala sesuatu tergantung niatnya'' itu. Sebagai contoh, orang yang salah kaprah atau semaunya sendiri akan menafsirkan melihat pornografi dan pornoaksi diperbolehkan dengan niat mentadabburi keindahan ciptaan Allah SWT. Padahal sudah jelas, pornografi dan pornoaksi adalah haram.
Demikian pula, penafsir yang semaunya sendiri itu tidak akan menganggap berdosa menyuap pejabat untuk meloloskan seleksi CPNS. Mereka berdalih menyuap itu diniatkan agar setelah bekerja nanti mempunyai penghasilan cukup dan keluangan waktu yang bisa menjaga keberlangsungan dakwah. Salah satu indikator bahwa niat kita lurus untuk Allah adalah ketika dilihat orang lain atau tidak, apakah semangat dan kualitas amalan kita tetap sama.
Mempersiapkan Kematian
Manusia lahir ke dunia dari sebelumnya tidak ada. Namun, setelah lahir, ia mencintai hidup dan kehidupannya. Lalu ia dihadapkan pada kenyataan, yakni kematian, batas akhir hidup yang senang atau tidak senang harus dijalaninya, sebagaimana kelahiran itu sendiri.
Kematian adalah keniscayaan hidup. Dan kematian merupakan pasangan dari kehidupan. Kegelisahan muncul bila diajukan pertanyaan, kapan kematian itu datang? Kematian datang pada tiap jiwa bak pencuri, yang menyelinap masuk lalu keluar menggondol ruh kehidupan dengan meninggalkan jasad yang tergolek tak berdaya. Kemudian, hidup terasa terlalu singkat. Banyak pekerjaan dan kewajiban yang belum terselesaikan.
Oleh karena itu, kematian identik dengan tragedi yang menorehkan kesedihan bagi yang ditinggalkan. ''Kematian pasti menyambangi tiap diri yang berjiwa.'' (QS Al-Anbiya: 35). Malaikat maut sangat dingin mencabut sukma, tak pandang tua atau muda, dan tak ada penundaan walau sejenak. Apabila ajal manusia menjelang, maka tak ada penundaan dan percepatan. (QS Yunus: 49 dan QS An-Nahl: 61).
Kematian menjadi rahasia Allah SWT yang misterius agar ia menjadi lampu kuning bagi manusia supaya tidak ceroboh dalam mengisi hidup yang sementara ini. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Aku tinggalkan bagi kalian dua pemberi peringatan. Yang pertama memberikan peringatan dengan pembicaraannya. Yang kedua memberikan peringatan dengan kebisuannya. Yang pertama adalah Alquran dan yang kedua adalah kematian.''
''Katakanlah, sesungguhnya kematian yang dari situ kalian melarikan diri, sesungguhnya ia akan menemuimu juga.'' (QS Al-Jumu'ah: 8). Meskipun demikian, kualitas takut akan kematian berbeda-beda. Ada yang takut mati karena ketenggelamannya dalam dunia. Tapi, ada pula yang takut mati karena belum merasa cukup bekal. Takut tipe kedualah yang patut dipelihara. Kualitas kematian sangat ditentukan oleh kesadaran (ketakutan) akan kematian itu. Sehingga, ada dua macam kematian, kematian yang membuat dirinya istirahat dan kematian yang membuat orang lain istirahat.
Bagi orang beriman, kematian menjadi istirahat panjang di tempat yang penuh damai. Kematian yang disambut senyuman sang mayat dan diiringi tangisan dari pelayat. Buat pendurhaka, kematian membuat semua makhluk beristirahat dari gangguannya. Kematian yang meledakkan tangis penyesalan sang mayat di liang kuburnya, tapi sekaligus disyukuri oleh semua manusia. Lalu, manakah macam kematian yang kita pilih sebagai penghujung catatan akhir hidup kita? ''Dia yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.'' (QS Al-Mulk: 2).
Kematian adalah keniscayaan hidup. Dan kematian merupakan pasangan dari kehidupan. Kegelisahan muncul bila diajukan pertanyaan, kapan kematian itu datang? Kematian datang pada tiap jiwa bak pencuri, yang menyelinap masuk lalu keluar menggondol ruh kehidupan dengan meninggalkan jasad yang tergolek tak berdaya. Kemudian, hidup terasa terlalu singkat. Banyak pekerjaan dan kewajiban yang belum terselesaikan.
Oleh karena itu, kematian identik dengan tragedi yang menorehkan kesedihan bagi yang ditinggalkan. ''Kematian pasti menyambangi tiap diri yang berjiwa.'' (QS Al-Anbiya: 35). Malaikat maut sangat dingin mencabut sukma, tak pandang tua atau muda, dan tak ada penundaan walau sejenak. Apabila ajal manusia menjelang, maka tak ada penundaan dan percepatan. (QS Yunus: 49 dan QS An-Nahl: 61).
Kematian menjadi rahasia Allah SWT yang misterius agar ia menjadi lampu kuning bagi manusia supaya tidak ceroboh dalam mengisi hidup yang sementara ini. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Aku tinggalkan bagi kalian dua pemberi peringatan. Yang pertama memberikan peringatan dengan pembicaraannya. Yang kedua memberikan peringatan dengan kebisuannya. Yang pertama adalah Alquran dan yang kedua adalah kematian.''
''Katakanlah, sesungguhnya kematian yang dari situ kalian melarikan diri, sesungguhnya ia akan menemuimu juga.'' (QS Al-Jumu'ah: 8). Meskipun demikian, kualitas takut akan kematian berbeda-beda. Ada yang takut mati karena ketenggelamannya dalam dunia. Tapi, ada pula yang takut mati karena belum merasa cukup bekal. Takut tipe kedualah yang patut dipelihara. Kualitas kematian sangat ditentukan oleh kesadaran (ketakutan) akan kematian itu. Sehingga, ada dua macam kematian, kematian yang membuat dirinya istirahat dan kematian yang membuat orang lain istirahat.
Bagi orang beriman, kematian menjadi istirahat panjang di tempat yang penuh damai. Kematian yang disambut senyuman sang mayat dan diiringi tangisan dari pelayat. Buat pendurhaka, kematian membuat semua makhluk beristirahat dari gangguannya. Kematian yang meledakkan tangis penyesalan sang mayat di liang kuburnya, tapi sekaligus disyukuri oleh semua manusia. Lalu, manakah macam kematian yang kita pilih sebagai penghujung catatan akhir hidup kita? ''Dia yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.'' (QS Al-Mulk: 2).
Mawas Diri
Di sepanjang zaman, kemiskinan menjadi momok bagi manusia. Karena, ketiadaan materi identik dengan kesusahan dan kehinaan. Karena itu pula, dari dulu hingga kini, manusia berlomba cemburu materi untuk membunuh kemiskinan. Hal itu manusiawi karena kecintaan kepada materi adalah fitrah manusia.
''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang baik.'' (QS Ali-Imran: 14). Harta atau materi memang hal yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan kita. Tapi, jelas tersurat di akhir ayat di atas bahwa harta bukanlah segalanya. Semua itu hanya untuk kesenangan dunia yang tak akan dibawa saat kembali ke haribaan-Nya.
Karena itu janganlah sampai kesibukan mencari harta benda membuat kita lalai untuk beribadah kepada-Nya. Dalam Alquran diceritakan seorang ahli ibadah yang karena kepentingan-kepentingan materi akhirnya tidak taat lagi kepada Allah SWT. ''Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti setan (sampai tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.'' (QS Al- A'raf: 175).
Becermin dari ayat di atas, kita saksikan banyak orang yang ketika miskin sangat rajin beribadah kepada Allah SWT. Tetapi, setelah kaya mereka meninggalkan ibadah karena terlalu sibuk dengan kekayaannya. Inilah tanda-tanda orang yang lupa diri yang sering berujung dengan kesombongan dan takabur, sifat yang dibenci Allah SWT. Qarun adalah contoh konkret akan sifat orang kaya yang lupa diri itu.
Seperti tertera di surat Al-Qashash ayat 76 sampai 82, Qarun yang sombong mengatakan bahwa harta benda yang dimilikinya adalah hasil pengetahuannya sendiri. Akhirnya Allah SWT membenamkannya ke dalam bumi bersama harta bendanya. Jadilah Qarun orang yang merugi. Jangan sampai kita tersesat seperti Qarun. Untuk itu kita harus mawas diri. Dengan mawas diri, kita tidak akan sombong bila dikaruniai banyak harta. Sebaliknya tidak akan terlampau sedih bila diuji dengan kemiskinan.
Itulah ciri-ciri orang yang bertakwa. Dan memang hanya orang bertakwa yang akan selamat dari dunia sampai akhirat. ''Itulah kampung akhirat, Kami adakan untuk orang-orang yang tidak sombong di muka bumi dan tiada membuat bencana. Akibat (yang baik), untuk orang-orang yang takwa.'' (QS Al-Qashash: 83).
''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang baik.'' (QS Ali-Imran: 14). Harta atau materi memang hal yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan kita. Tapi, jelas tersurat di akhir ayat di atas bahwa harta bukanlah segalanya. Semua itu hanya untuk kesenangan dunia yang tak akan dibawa saat kembali ke haribaan-Nya.
Karena itu janganlah sampai kesibukan mencari harta benda membuat kita lalai untuk beribadah kepada-Nya. Dalam Alquran diceritakan seorang ahli ibadah yang karena kepentingan-kepentingan materi akhirnya tidak taat lagi kepada Allah SWT. ''Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti setan (sampai tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.'' (QS Al- A'raf: 175).
Becermin dari ayat di atas, kita saksikan banyak orang yang ketika miskin sangat rajin beribadah kepada Allah SWT. Tetapi, setelah kaya mereka meninggalkan ibadah karena terlalu sibuk dengan kekayaannya. Inilah tanda-tanda orang yang lupa diri yang sering berujung dengan kesombongan dan takabur, sifat yang dibenci Allah SWT. Qarun adalah contoh konkret akan sifat orang kaya yang lupa diri itu.
Seperti tertera di surat Al-Qashash ayat 76 sampai 82, Qarun yang sombong mengatakan bahwa harta benda yang dimilikinya adalah hasil pengetahuannya sendiri. Akhirnya Allah SWT membenamkannya ke dalam bumi bersama harta bendanya. Jadilah Qarun orang yang merugi. Jangan sampai kita tersesat seperti Qarun. Untuk itu kita harus mawas diri. Dengan mawas diri, kita tidak akan sombong bila dikaruniai banyak harta. Sebaliknya tidak akan terlampau sedih bila diuji dengan kemiskinan.
Itulah ciri-ciri orang yang bertakwa. Dan memang hanya orang bertakwa yang akan selamat dari dunia sampai akhirat. ''Itulah kampung akhirat, Kami adakan untuk orang-orang yang tidak sombong di muka bumi dan tiada membuat bencana. Akibat (yang baik), untuk orang-orang yang takwa.'' (QS Al-Qashash: 83).
Langganan:
Postingan (Atom)