Insan terlahir suci laksana kertas putih tanpa noda. Tugas besar manusia sepanjang alur hidupnya adalah menjaga kesucian diri itu. ''Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri.'' (QS al-A'la: 14, Asy-Syams: 9).
Oleh sebab itu, perlu perisai diri untuk menangkis segala yang bukan hanya dilarang Allah SWT (haram), namun juga yang syubhat (sesuatu yang belum tegas halal-haramnya). ''Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat, sesungguhnya ia telah berhasil mencari kebersihan bagi agamanya dan nama baiknya sendiri.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Perisai diri itu adalah sikap wara' yang secara harfiah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Ibrahim bin Adham mendefinisikan wara' sebagai, ''Meninggalkan semua syubhat dan apa-apa yang tidak berarti baginya, yaitu semua hal yang tidak berguna dan sia-sia.''
Singkatnya, wara' adalah kehatian-hatian diri dari segala yang dipakai maupun yang dimakan, bukan hanya terhadap sesuatu yang haram tapi juga sesuatu yang syubhat dan tak berguna. Sikap wara' banyak dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu. Sufyan al-Tsauri, misalnya, bila tidak menemukan makanan yang halal dan bersih, dia rela untuk tidak makan berhari-hari. Lalu, Ibn al-Mubarak pernah kembali dari Khurasan ke Syam hanya karena lupa mengembalikan pulpen yang dipinjam dari temannya.
Kemudian, Ibrahim bin Adham pula pernah kembali dari Palestina ke Basrah hanya untuk mengembalikan satu biji kurma karena itu tidak termasuk yang ditimbang dan dibelinya. Masalah selanjutnya adalah mungkinkah mempraktikkan sikap wara' dalam zaman sekarang ini yang hampir-hampir sulit sekali membedakan mana yang halal dan mana yang haram?
Wara' bukan sikap antipati, tapi sikap kritis. Sebab, sikap wara' hanya mungkin dijalankan dengan ilmu. Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, melihat pentingnya pengetahuan seseorang tentang hukum syariat, khususnya berkaitan dengan yang dikonsumsi. Karenanya, ilmu syariat yang berkaitan dengan halal-haramnya sesuatu tergolong ilmu yang wajib dipelajari.
Selain ilmu, wara' juga harus berdasarkan fakta, bukan dugaan kosong. Wara' yang ekstrem, seperti melihat dunia seluruhnya sebagai syubhat, menjadikan seseorang meninggalkan dunia tanpa melihat kehalalan dan keharaman, termasuk sifat yang mengada-ada. ''Binasalah al-mutanaththiun (orang yang suka mengada-ada),'' sabda Nabi SAW. Hakikat wara' terletak pada sikap kritis dalam memilih dan memilah berlandaskan pada ilmu dan fakta.
Wara' bukan sesuatu yang mustahil untuk diaktualkan. Wara' hanya mustahil dilaksanakan oleh jiwa-jiwa yang telah terasuki sikap tamak (rakus) terhadap dunia.
Jumat, 31 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar