Pada suatu hari yang amat terik, Khalifah Harun Al-Rasyid mengundang Ibnu Samak, seorang ulama, ke istana di Baghdad untuk meminta fatwa dan nasihatnya. Khalifah meminta pelayannya untuk menyajikan minuman segar untuk Ibnu Samak.
Sebelum meminum, Ibnu Samak bertanya kepada Khalifah, ''Tuan, jika sekiranya seteguk air minum itu sulit diperoleh dan susah mencarinya, sedangkan tuan sudah sangat kehausan, berapakah kiranya seteguk air itu mau tuan hargai?''
''Biar habis setengah kekayaanku, aku mau membelinya,'' ujar Khalifah Harun Al-Rasyid. ''Minumlah tuanku air yang seteguk itu yang kadangkala harganya lebih mahal daripada setengah kekayaan tuanku!'' lanjut Ibnu Samak.
Setelah Khalifah minum, Ibnu Samak pun melanjutkan fatwanya. ''Jika air yang tuan minum tadi tidak mau keluar dari diri tuan, meski sudah bersusah payah berusaha tidak juga mau keluar, berapakah kiranya tuan mau membayar agar air itu dapat keluar?'' tanya Ibnu Samak lagi.
Harun Al-Rasyid menjawab, ''Kalau air itu tidak mau keluar lagi, apalah gunanya kemegahan dan kekayaan ini. Biarlah habis seluruh kekayaanku ini untuk mengobati diriku, sehingga air itu bisa keluar.''
Ibnu Simak melanjutkan pengajarannya, ''Maka tidakkah tuan insyaf, betapa kecil dan lemahnya kita ini. Tibalah saatnya kita tunduk dan patuh serta bersyukur kepada-Nya dan menyadari akan kelemahan diri kita.'' Mendengar fatwa itu Khalifah menangis tersedu.
Subhanallah, sungguh benarlah wasiat Ibnu Samak pada Khalifah Harun Al-Rasyid di atas. Betapa lemahnya manusia. Bagaimanakah seandainya Allah SWT dengan tiba-tiba menghentikan air yang masuk dalam tubuh kita? Atau, menghentikan denyut jatung dan paru-paru, sedangkan kita masih hidup bergelimang dosa. Sungguh kematian itu datang tiba-tiba dengan sebab yang tak terduga.
Betapa kufurnya kita, jika tidak bersyukur kepada Allah SWT, sedangkan hari ini kita masih bisa membuang hajat dengan lancar, bernapas dengan lega, dan jantung masih berdetak dengan teratur. Jika kita menghitung nikmat yang Allah SWT berikan, niscaya tidak akan mampu menghitungnya.
Padahal, Allah SWT telah melengkapi tubuh kita dengan segala perlengkapan, sehingga dapat bertahan hidup dan mencapai kebahagiaan. Tapi terkadang, manusia melalaikan semua itu.
Sampai-sampai Allah SWT berfirman, ''Hai manusia, apakah yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan mejadikan (susunan tubuhmu)-mu seimbang.'' (QS Al-Infithaar (82): 6-7).
Bagi Allah SWT amatlah mudah mencabut nyawa kita kapan saja. Karenanya, kita harus siap menyambut maut dengan iman dan amal yang ikhlas.
Rabu, 05 November 2008
Makna Musibah
Musibah berasal dari kata ashaaba, yushiibu, mushiibatan yang berarti segala yang menimpa pada sesuatu baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Namun, umumnya dipahami musibah selalu identik dengan kesusahan. Padahal, kesenangan yang dirasakan pada hakikatnya musibah juga. Dengan musibah, Allah SWT hendak menguji siapa yang paling baik amalnya.
''Sesungguhnya kami telah jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, karena Kami hendak memberi cobaan kepada mereka, siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya.'' (QS Al-Kahfi (18): 7) Ada tiga golongan manusia dalam menghadapi musibah. Pertama, orang yang menganggap bahwa musibah adalah sebagai hukuman dan azab kepadanya. Sehingga, dia selalu merasa sempit dada dan selalu mengeluh.
Kedua, orang yang menilai bahwa musibah adalah sebagai penghapus dosa. Ia tidak pernah menyerahkan apa-apa yang menimpanya kecuali kepada Allah SWT. Ketiga, orang yang meyakini bahwa musibah adalah ladang peningkatan iman dan takwanya. Orang yang seperti ini selalu tenang serta percaya bahwa dengan musibah itu Allah SWT menghendaki kebaikan bagi dirinya.
Musibah yang ditimpakan kepada manusia ada dua macam. Pertama, musibah dunia; dan kedua, musibah akhirat. Musibah dunia salah satunya ialah ketakutan, kelaparan, kematian, dan sebagainya sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 155. ''Dan pasti akan kami uji kalian dengan sesuatu dari ketakutan, dan kelaparan, dan kekurangan harta dan jiwa dan buah-buahan, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.'' Adapun musibah akhirat adalah orang yang tidak punya amal saleh dalam hidupnya, sehingga jauh dari pahala. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Orang yang terkena musibah, bukanlah seperti yang kalian ketahui, tetapi orang yang terkena musibah yaitu yang tidak memperoleh kebajikan (pahala) dalam hidupnya.''
Orang yang terkena musibah berupa kesusahan di dunia, jika ia hadapi dengan kesabaran, ikhtiar, dan tawakal kepada Allah SWT, hakikatnya ia tidak terkena musibah. Justru yang ia dapatkan adalah pahala.
Sebaliknya, musibah kesenangan selama hidupnya, jika ia tidak pandai mensyukurinya, maka itulah musibah yang sesungguhnya. Karena, bukan pahala yang ia peroleh, melainkan dosa.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam hadis Qudsi Allah SWT berfirman, ''Demi keagungan dan kemuliaan-Ku, Aku tiada mengeluarkan hamba-Ku yang Aku inginkan kebaikan baginya dari kehidupan dunia, sehingga Aku tebus perbuatan-perbuatan dosanya dengan penyakit pada tubuhnya, kerugian pada hartanya, kehilangan anaknya. Apabila masih ada dosa yang tersisa dijadikan ia merasa berat di saat sakaratul maut, sehingga ia menjumpai Aku seperti bayi yang baru dilahirkan.''
''Sesungguhnya kami telah jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, karena Kami hendak memberi cobaan kepada mereka, siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya.'' (QS Al-Kahfi (18): 7) Ada tiga golongan manusia dalam menghadapi musibah. Pertama, orang yang menganggap bahwa musibah adalah sebagai hukuman dan azab kepadanya. Sehingga, dia selalu merasa sempit dada dan selalu mengeluh.
Kedua, orang yang menilai bahwa musibah adalah sebagai penghapus dosa. Ia tidak pernah menyerahkan apa-apa yang menimpanya kecuali kepada Allah SWT. Ketiga, orang yang meyakini bahwa musibah adalah ladang peningkatan iman dan takwanya. Orang yang seperti ini selalu tenang serta percaya bahwa dengan musibah itu Allah SWT menghendaki kebaikan bagi dirinya.
Musibah yang ditimpakan kepada manusia ada dua macam. Pertama, musibah dunia; dan kedua, musibah akhirat. Musibah dunia salah satunya ialah ketakutan, kelaparan, kematian, dan sebagainya sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 155. ''Dan pasti akan kami uji kalian dengan sesuatu dari ketakutan, dan kelaparan, dan kekurangan harta dan jiwa dan buah-buahan, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.'' Adapun musibah akhirat adalah orang yang tidak punya amal saleh dalam hidupnya, sehingga jauh dari pahala. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Orang yang terkena musibah, bukanlah seperti yang kalian ketahui, tetapi orang yang terkena musibah yaitu yang tidak memperoleh kebajikan (pahala) dalam hidupnya.''
Orang yang terkena musibah berupa kesusahan di dunia, jika ia hadapi dengan kesabaran, ikhtiar, dan tawakal kepada Allah SWT, hakikatnya ia tidak terkena musibah. Justru yang ia dapatkan adalah pahala.
Sebaliknya, musibah kesenangan selama hidupnya, jika ia tidak pandai mensyukurinya, maka itulah musibah yang sesungguhnya. Karena, bukan pahala yang ia peroleh, melainkan dosa.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam hadis Qudsi Allah SWT berfirman, ''Demi keagungan dan kemuliaan-Ku, Aku tiada mengeluarkan hamba-Ku yang Aku inginkan kebaikan baginya dari kehidupan dunia, sehingga Aku tebus perbuatan-perbuatan dosanya dengan penyakit pada tubuhnya, kerugian pada hartanya, kehilangan anaknya. Apabila masih ada dosa yang tersisa dijadikan ia merasa berat di saat sakaratul maut, sehingga ia menjumpai Aku seperti bayi yang baru dilahirkan.''
Mengendalikan Emosi
Allah SWT telah memberi karunia kepada manusia berupa perasaan hati atau emosi. Emosi akan bereaksi oleh sesuatu yang dilihat atau dirasakan. Kegembiraan yang berlebihan maupun kesedihan dan kekecewaan yang mendalam menyebabkan luapan emosi.
''(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu.'' (QS Al-Hadiid (57): 23).
Fenomena di masyarakat saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Orang dengan mudah melampiaskan emosi. Karena suatu hal kecil yang tidak berkenan, timbul tindakan berlebihan karena kemarahan atau kekecewaan. Dalam hal ini nafsu lebih diperturutkan daripada hati nurani. Hanya keteguhan iman yang akan membuat seseorang bisa menguasai emosi dengan izin Allah SWT. Dengan iman yang teguh, semua qadha dan qadar akan diterima.
''Sesungguhnya marah itu merusak iman sebagaimana benda yang pahit menghancurkan madu.'' (HR Bukhari). Pada saat suatu keinginan dapat tercapai, acap kali kita terlena, kegembiraan berlebihan diekspresikan. Tidak disadari bahwa apa yang telah dicapai merupakan karunia Allah SWT. Seyogianya rasa syukur harus diungkapkan, tidak sekadar mengucapkan Alhamdulillah. Karunia yang diberikan atas keinginan yang tercapai harus dimanfaatkan di jalan-Nya.
''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'' (QS Ibrahim (14): 7).
Salah satu zikir ma'tsurat yang biasa kita baca sehabis shalat Subuh dan Ashar dengan terjemahan arti, ''Aku rela Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul,'' mempunyai konsekuensi bahwa kita harus ridha terhadap qadha dan qadar-Nya. Baik itu yang sesuai dengan keinginan maupun yang tidak sesuai dengan keinginan kita.
Allah SWT Maha Mengetahui apa yang baik untuk kita. ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.'' (QS Al-Baqarah (2): 216).
Penegasan ini membuat kita untuk lebih tenang dalam merespons apa pun yang terjadi. Kita harus selalu berada dalam keadaan berbaik sangka terhadap Allah SWT, sekali-kali Dia tidak akan berbuat zalim kepada hamba-Nya. Tingkatan tertinggi dari sikap ridha akan didapatkan di surga nanti sebagai suatu rahmat dari Allah SWT. ''Balasan bagi mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-Nya. (QS Al-Bayyinah (98): 8).
''(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu.'' (QS Al-Hadiid (57): 23).
Fenomena di masyarakat saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Orang dengan mudah melampiaskan emosi. Karena suatu hal kecil yang tidak berkenan, timbul tindakan berlebihan karena kemarahan atau kekecewaan. Dalam hal ini nafsu lebih diperturutkan daripada hati nurani. Hanya keteguhan iman yang akan membuat seseorang bisa menguasai emosi dengan izin Allah SWT. Dengan iman yang teguh, semua qadha dan qadar akan diterima.
''Sesungguhnya marah itu merusak iman sebagaimana benda yang pahit menghancurkan madu.'' (HR Bukhari). Pada saat suatu keinginan dapat tercapai, acap kali kita terlena, kegembiraan berlebihan diekspresikan. Tidak disadari bahwa apa yang telah dicapai merupakan karunia Allah SWT. Seyogianya rasa syukur harus diungkapkan, tidak sekadar mengucapkan Alhamdulillah. Karunia yang diberikan atas keinginan yang tercapai harus dimanfaatkan di jalan-Nya.
''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'' (QS Ibrahim (14): 7).
Salah satu zikir ma'tsurat yang biasa kita baca sehabis shalat Subuh dan Ashar dengan terjemahan arti, ''Aku rela Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul,'' mempunyai konsekuensi bahwa kita harus ridha terhadap qadha dan qadar-Nya. Baik itu yang sesuai dengan keinginan maupun yang tidak sesuai dengan keinginan kita.
Allah SWT Maha Mengetahui apa yang baik untuk kita. ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.'' (QS Al-Baqarah (2): 216).
Penegasan ini membuat kita untuk lebih tenang dalam merespons apa pun yang terjadi. Kita harus selalu berada dalam keadaan berbaik sangka terhadap Allah SWT, sekali-kali Dia tidak akan berbuat zalim kepada hamba-Nya. Tingkatan tertinggi dari sikap ridha akan didapatkan di surga nanti sebagai suatu rahmat dari Allah SWT. ''Balasan bagi mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-Nya. (QS Al-Bayyinah (98): 8).
Mencintai Rasul
Mencintai Rasulullah SAW termasuk salah satu kewajiban seorang Muslim. Mencintai, tentu tidak hanya mengagumi, tapi juga meneladani akhlak beliau (ittiba'). Sedemikian agung akhlak Rasulullah SAW hingga Michael Hart mencantumkan namanya dalam urutan pertama 100 tokoh yang paling berpengaruh di dunia.
Rasulullah SAW tidak saja berhasil mendidik diri, keluarga, dan umatnya. Akan tetapi beliau juga mampu melestarikan kekuatan teladan itu dalam setiap nadi generasi para pengikutnya. Sebelum jauh menasihati orang lain, jauh-jauh hari beliau selalu menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Di kalangan musuh-musuhnya saja, beliau diberi julukan al-Amin, orang jujur dan terpercaya.
Satu-satunya prinsip yang beliau pegang dalam membangun perubahan radikal di muka bumi, bahwa perubahan di dunia tidak akan terjadi tanpa kemauan keras mengubah diri sendiri. Keteladanan (dakwah bil hal), bagi beliau, termasuk salah satu kekuatan dakwah paling efektif yang bisa memberi efek luar biasa dari sekadar ajakan lisan.
Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.'' (QS Al-Ahzab (33): 21).
Salah satu contoh kemuliaan dan keluhuran akhlak Rasulullah SAW, yaitu di saat beliau berkumpul bersama para sahabatnya. Saat itu tiba-tiba saja datang seorang Arab Badui yang kemudian kencing di pojok masjid. Semua orang geram, merasa terhina dengan perbuatan orang tak dikenal itu. Namun, Rasulullah SAW tetap tenang seraya mencegah para sahabat menghardik orang tersebut sebelum menyelesaikan kencingnya.
Setelah selesai kencing, Rasulullah SAW segera memanggil dan menasihatinya dengan lemah lembut. Setelah pergi, beliau lalu menyuruh para sahabat membersihkan tempat yang dikencingi itu dengan air.
Kisah di atas, teladan dakwah Rasulullah SAW yang bertahap dan bijak. Beliau tidak tergesa-gesa menghendaki perubahan, tanpa menyampaikan wawasan terlebih dahulu pada yang bersangkutan. Yang disebut kekeliruan, adalah ketika tahu perbuatan itu salah tapi tetap dikerjakan. Tidak dianggap kesalahan jika seseorang tidak tahu kalau perbuatan itu salah.
Disebut bijak, karena beliau menyampaikan dakwah dengan berusaha keras menghindari unsur menyakiti dan menyinggung orang lain. Sesuai firman Allah SWT, ''Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.'' (QS An-Nahl (16): 125).
Rasulullah SAW tidak saja berhasil mendidik diri, keluarga, dan umatnya. Akan tetapi beliau juga mampu melestarikan kekuatan teladan itu dalam setiap nadi generasi para pengikutnya. Sebelum jauh menasihati orang lain, jauh-jauh hari beliau selalu menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Di kalangan musuh-musuhnya saja, beliau diberi julukan al-Amin, orang jujur dan terpercaya.
Satu-satunya prinsip yang beliau pegang dalam membangun perubahan radikal di muka bumi, bahwa perubahan di dunia tidak akan terjadi tanpa kemauan keras mengubah diri sendiri. Keteladanan (dakwah bil hal), bagi beliau, termasuk salah satu kekuatan dakwah paling efektif yang bisa memberi efek luar biasa dari sekadar ajakan lisan.
Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.'' (QS Al-Ahzab (33): 21).
Salah satu contoh kemuliaan dan keluhuran akhlak Rasulullah SAW, yaitu di saat beliau berkumpul bersama para sahabatnya. Saat itu tiba-tiba saja datang seorang Arab Badui yang kemudian kencing di pojok masjid. Semua orang geram, merasa terhina dengan perbuatan orang tak dikenal itu. Namun, Rasulullah SAW tetap tenang seraya mencegah para sahabat menghardik orang tersebut sebelum menyelesaikan kencingnya.
Setelah selesai kencing, Rasulullah SAW segera memanggil dan menasihatinya dengan lemah lembut. Setelah pergi, beliau lalu menyuruh para sahabat membersihkan tempat yang dikencingi itu dengan air.
Kisah di atas, teladan dakwah Rasulullah SAW yang bertahap dan bijak. Beliau tidak tergesa-gesa menghendaki perubahan, tanpa menyampaikan wawasan terlebih dahulu pada yang bersangkutan. Yang disebut kekeliruan, adalah ketika tahu perbuatan itu salah tapi tetap dikerjakan. Tidak dianggap kesalahan jika seseorang tidak tahu kalau perbuatan itu salah.
Disebut bijak, karena beliau menyampaikan dakwah dengan berusaha keras menghindari unsur menyakiti dan menyinggung orang lain. Sesuai firman Allah SWT, ''Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.'' (QS An-Nahl (16): 125).
Tawadhu
Tawadhu atau rendah hati merupakan sifat terpuji yang mutlak dimiliki setiap individu Muslim. Orang yang memiliki sifat tawadhu pasti akan dicintai. Rasulullah SAW terkenal orang yang sangat tawadhu, sehingga sangat dicintai oleh umatnya.
''Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.'' (QS Al-Furqan (25): 63). Lawan dari sifat ini adalah takabbur. Imam Syafi'i berkata, ''Sikap tawadhu adalah akhlak orang-orang yang mulia, sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela.'' Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa yang tawadhu karena Allah niscaya Allah akan mengangkatnya (derajatnya). (HR Muslim).
Ada tiga ciri orang yang memiliki sifat tawadhu. Pertama, selalu memandang rendah dirinya sendiri, dalam artian bukan menganggap hina dirinya, tapi merasa dirinya bukanlah orang yang sempurna, memiliki kekurangan, dan banyak melakukan kesalahan. Sehingga, dengan semua itu kita tidak akan menganggap remeh, menganggap lebih baik, dan lebih mulia daripada orang lain.
Kedua, menghargai orang lain. Muhammad SAW adalah orang yang sangat menghargai orang lain, khususnya para sahabat dan pengikutnya. Salah satu contoh konkretnya adalah pada waktu Perang Badar. Beliau menghentikan pasukan perang di dekat sebuah mata air. Seorang yang bernama Hubab bin Mundhir bin Jamuh (orang yang paling tahu tentang tempat itu) bertanya, ''Rasulullah apa alasan Anda berinisiatif untuk berhenti di tempat ini? Kalau ini merupakan wahyu dari Allah, maka kita tidak akan maju atau mundur setapak pun dari sini. Ataukah ini hanya pendapat Anda dan hanya merupakan taktik bertempur saja?''
Beliau menjawab, ''Ini sekadar pendapat saya dan merupakan taktik perang.'' Kemudian Hubab berkata lagi, ''Jika demikian, tidak tepat kita berhenti di sini. Mari kita beranjak (pindah) sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka (musuh), lalu sumur-sumur kering yang berada di belakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi air sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, sementara mereka tidak.''
Dengan ketawadhuannya, Rasulullah SAW menerima usulan itu, meskipun beliau adalah pemimpin tertinggi dalam peperangan ini. Ketiga, menerima pembenaran dan nasihat dari orang lain. Kita adalah manusia yang tidak luput dari salah dan dosa, dan orang lain adalah penilai bagi perilaku kita. Maka, sudah sepantasnya kita sebagai hamba Allah SWT yang dhaif dan tidak sempurna menerima nasihat sebagai pembenaran atas perilaku kita yang salah.
''Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.'' (QS Al-Furqan (25): 63). Lawan dari sifat ini adalah takabbur. Imam Syafi'i berkata, ''Sikap tawadhu adalah akhlak orang-orang yang mulia, sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela.'' Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa yang tawadhu karena Allah niscaya Allah akan mengangkatnya (derajatnya). (HR Muslim).
Ada tiga ciri orang yang memiliki sifat tawadhu. Pertama, selalu memandang rendah dirinya sendiri, dalam artian bukan menganggap hina dirinya, tapi merasa dirinya bukanlah orang yang sempurna, memiliki kekurangan, dan banyak melakukan kesalahan. Sehingga, dengan semua itu kita tidak akan menganggap remeh, menganggap lebih baik, dan lebih mulia daripada orang lain.
Kedua, menghargai orang lain. Muhammad SAW adalah orang yang sangat menghargai orang lain, khususnya para sahabat dan pengikutnya. Salah satu contoh konkretnya adalah pada waktu Perang Badar. Beliau menghentikan pasukan perang di dekat sebuah mata air. Seorang yang bernama Hubab bin Mundhir bin Jamuh (orang yang paling tahu tentang tempat itu) bertanya, ''Rasulullah apa alasan Anda berinisiatif untuk berhenti di tempat ini? Kalau ini merupakan wahyu dari Allah, maka kita tidak akan maju atau mundur setapak pun dari sini. Ataukah ini hanya pendapat Anda dan hanya merupakan taktik bertempur saja?''
Beliau menjawab, ''Ini sekadar pendapat saya dan merupakan taktik perang.'' Kemudian Hubab berkata lagi, ''Jika demikian, tidak tepat kita berhenti di sini. Mari kita beranjak (pindah) sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka (musuh), lalu sumur-sumur kering yang berada di belakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi air sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, sementara mereka tidak.''
Dengan ketawadhuannya, Rasulullah SAW menerima usulan itu, meskipun beliau adalah pemimpin tertinggi dalam peperangan ini. Ketiga, menerima pembenaran dan nasihat dari orang lain. Kita adalah manusia yang tidak luput dari salah dan dosa, dan orang lain adalah penilai bagi perilaku kita. Maka, sudah sepantasnya kita sebagai hamba Allah SWT yang dhaif dan tidak sempurna menerima nasihat sebagai pembenaran atas perilaku kita yang salah.
Nilai Kebaikan
Setiap kebaikan adalah saham akhirat. Tak ada satu kebaikan pun yang sia-sia di hadapan Allah SWT. Dia akan menggandakan 10 kali lipat, bahkan hingga tujuh ratus kali lipat kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih dan ikhlas.
''Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, bagaikan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, dalam tiap-tiap tangkai ada 100 bulir. Dan Allah SWT akan melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya dan Maha Mengetahui terhadap semua hamba-Nya.'' (QS Al-Baqarah (2): 261).
Pernah suatu ketika Utsman bin Affan membawa 1.000 unta yang bermuatan kurma, minyak, kismis, dan lain-lain. Melihat itu para pedagang berdatangan menyambutnya. Mereka bermaksud hendak membeli barang-barang tersebut dengan nilai mulai dari sedirham, dua dirham sampai enam dirham.
Namun Utsman menjawab, ''Sayang sekali, aku sudah menjualnya dengan harga 10 dirham.'' Mereka penasaran siapakah yang berani membayar sebesar itu? Dengan tenang Ustman menjawab, ''Aku telah menjual kepada Allah dan Rasul-Nya.''
Kebaikan mendapat tempat yang istimewa dalam Islam dan hanya diberikan kepada hamba-Nya yang terpilih. Bahkan, kejahatan sekalipun harus ditolak dengan cara yang baik, sehingga menghasilkan kebaikan.
''Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang di antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.'' (QS Fushshilat (41): 34-35).
Berbagai godaan internal (syaitan) dan eksternal (lingkungan) kerap membuat orang yang hendak berbuat baik terhalang, suka menunda-nunda, hingga akhirnya tidak sempat berbuat baik.
Menunda kebaikan berarti membuang waktu, usia, kesempatan yang telah diberikan Allah SWT. Kisah Firaun menjadi pelajaran ketika menolak dakwah Nabi Musa. Padahal, telah tampak bukti-bukti kenabiannya. Tobatnya pun tertolak.
Islam menggambarkan pintu kebaikan itu sungguh banyak, tersebar dalam berbagai aspek kehidupan. Pintu-pintunya senantiasa terbuka lebar bagi siapa saja. Tersenyum kepada teman, bertutur kata yang baik, berbuat baik kepada tetangga, semua itu termasuk ibadah yang berpahala asalkan niatnya karena Allah SWT semata.
Selain itu, kebaikan dapat menghapuskan keburukan sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ''Bertakwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka dia akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.'' (HR At-Turmudzi).
''Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, bagaikan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, dalam tiap-tiap tangkai ada 100 bulir. Dan Allah SWT akan melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya dan Maha Mengetahui terhadap semua hamba-Nya.'' (QS Al-Baqarah (2): 261).
Pernah suatu ketika Utsman bin Affan membawa 1.000 unta yang bermuatan kurma, minyak, kismis, dan lain-lain. Melihat itu para pedagang berdatangan menyambutnya. Mereka bermaksud hendak membeli barang-barang tersebut dengan nilai mulai dari sedirham, dua dirham sampai enam dirham.
Namun Utsman menjawab, ''Sayang sekali, aku sudah menjualnya dengan harga 10 dirham.'' Mereka penasaran siapakah yang berani membayar sebesar itu? Dengan tenang Ustman menjawab, ''Aku telah menjual kepada Allah dan Rasul-Nya.''
Kebaikan mendapat tempat yang istimewa dalam Islam dan hanya diberikan kepada hamba-Nya yang terpilih. Bahkan, kejahatan sekalipun harus ditolak dengan cara yang baik, sehingga menghasilkan kebaikan.
''Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang di antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.'' (QS Fushshilat (41): 34-35).
Berbagai godaan internal (syaitan) dan eksternal (lingkungan) kerap membuat orang yang hendak berbuat baik terhalang, suka menunda-nunda, hingga akhirnya tidak sempat berbuat baik.
Menunda kebaikan berarti membuang waktu, usia, kesempatan yang telah diberikan Allah SWT. Kisah Firaun menjadi pelajaran ketika menolak dakwah Nabi Musa. Padahal, telah tampak bukti-bukti kenabiannya. Tobatnya pun tertolak.
Islam menggambarkan pintu kebaikan itu sungguh banyak, tersebar dalam berbagai aspek kehidupan. Pintu-pintunya senantiasa terbuka lebar bagi siapa saja. Tersenyum kepada teman, bertutur kata yang baik, berbuat baik kepada tetangga, semua itu termasuk ibadah yang berpahala asalkan niatnya karena Allah SWT semata.
Selain itu, kebaikan dapat menghapuskan keburukan sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ''Bertakwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka dia akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.'' (HR At-Turmudzi).
Jumat, 31 Oktober 2008
Kesenangan Yang Memperdaya
''Dan tiadalah kehidupan dunia itu melainkan kesenangan yang dapat memperdayakan.'' (QS Al-Imran: 185). Dalam Alquran, ayat serupa terdapat juga di surat Al-Hadid (57) ayat 20.
Dari kedua ayat ini dapat disimpulkan, kita disuruh waspada dan hati-hati terhadap kesenangan yang sifatnya sementara, baik kesenangan itu berasal dari harta benda, pangkat, kedudukan, anak istri, keturunan, dan lainnya. Kesemuanya adalah kehidupan dunia yang kalau tidak pandai memanfaatkannya sesuai dengan peraturan Allah SWT, maka kita akan tertipu, sehingga menjadi orang yang kufur dan sengsara, di dunia maupun akhirat. Lihat QS Al-Imran (3) ayat 56 dan Ar-Ra'd (13) ayat 34.
Dan sebaliknya, jika kita pandai memanfaatkan sesuai dengan aturan Allah SWT, maka kesenangan itu akan bersifat abadi. Kalau ada istilah yang sering kita dengar, apalah artinya hidup di dunia ini yang cuma sebentar, kalau mati, toh harta dan pangkat itu tak akan dibawa mati.
Sepintas lalu, pernyataan itu memang benar, tapi bila kita lihat lebih jauh, ungkapan itu keliru besar. Seseorang yang berpikiran demikian, akhirnya menyepelekan kehidupan dunia, baik berupa pangkat maupun harta.
Padahal, dengan perantaraan harta dan pangkat itu, seseorang akan dapat beramal saleh yang lebih luas jangkauan manfaatnya, sehingga kehidupan mereka selalu baik, baik di dunia maupun sesudah kematian nanti. Hal ini sesuai dengan doa di QS Al-Baqarah (2) ayat 201. ''Berikanlah kami (kehidupan) yang baik di dunia dan (kehidupan) yang baik di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.''
Memang, dalam Alquran banyak ayat yang mengatakan, 'Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai permainan dan kelalaian' dan 'bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai kesenangan yang sedikit, sebagai kesenangan yang memperdayakan,' dan yang senada lainnya.
Padahal, maksud semua itu adalah supaya kita berhati-hati, sehingga tidak diperdayakan oleh harta benda, pangkat, dan keturunan, yang menghiasi kehidupan dunia ini.
Kalau diperhatikan, kesenangan-kesenangan sementara itu, jika dibandingkan dengan kesengsaraan yang akan diperoleh sesudah kematian nanti, maka kesenangan di awal itu hanyalah sedikit sekali, sekejap, dan tidak bisa dirasakan lagi setelah kematian itu.
Karena itu, Alquran sering mengatakan, 'Kesenangan di dalam kehidupan yang ada di hari-hari yang kemudian atau di akhirat dan sesudah kematian nanti adalah jauh lebih baik, lebih terpilih, dan lebih kekal abadi jika dibandingkan dengan kesenangan di dunia yang bersifat sementara dan sekejap.' (QS Al-An'am (6) ayat 32, At-Taubah (9) ayat 38, Al-A'la (87) ayat 17, dan Ad-Dhuha (93) ayat 4).
Dari kedua ayat ini dapat disimpulkan, kita disuruh waspada dan hati-hati terhadap kesenangan yang sifatnya sementara, baik kesenangan itu berasal dari harta benda, pangkat, kedudukan, anak istri, keturunan, dan lainnya. Kesemuanya adalah kehidupan dunia yang kalau tidak pandai memanfaatkannya sesuai dengan peraturan Allah SWT, maka kita akan tertipu, sehingga menjadi orang yang kufur dan sengsara, di dunia maupun akhirat. Lihat QS Al-Imran (3) ayat 56 dan Ar-Ra'd (13) ayat 34.
Dan sebaliknya, jika kita pandai memanfaatkan sesuai dengan aturan Allah SWT, maka kesenangan itu akan bersifat abadi. Kalau ada istilah yang sering kita dengar, apalah artinya hidup di dunia ini yang cuma sebentar, kalau mati, toh harta dan pangkat itu tak akan dibawa mati.
Sepintas lalu, pernyataan itu memang benar, tapi bila kita lihat lebih jauh, ungkapan itu keliru besar. Seseorang yang berpikiran demikian, akhirnya menyepelekan kehidupan dunia, baik berupa pangkat maupun harta.
Padahal, dengan perantaraan harta dan pangkat itu, seseorang akan dapat beramal saleh yang lebih luas jangkauan manfaatnya, sehingga kehidupan mereka selalu baik, baik di dunia maupun sesudah kematian nanti. Hal ini sesuai dengan doa di QS Al-Baqarah (2) ayat 201. ''Berikanlah kami (kehidupan) yang baik di dunia dan (kehidupan) yang baik di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.''
Memang, dalam Alquran banyak ayat yang mengatakan, 'Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai permainan dan kelalaian' dan 'bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai kesenangan yang sedikit, sebagai kesenangan yang memperdayakan,' dan yang senada lainnya.
Padahal, maksud semua itu adalah supaya kita berhati-hati, sehingga tidak diperdayakan oleh harta benda, pangkat, dan keturunan, yang menghiasi kehidupan dunia ini.
Kalau diperhatikan, kesenangan-kesenangan sementara itu, jika dibandingkan dengan kesengsaraan yang akan diperoleh sesudah kematian nanti, maka kesenangan di awal itu hanyalah sedikit sekali, sekejap, dan tidak bisa dirasakan lagi setelah kematian itu.
Karena itu, Alquran sering mengatakan, 'Kesenangan di dalam kehidupan yang ada di hari-hari yang kemudian atau di akhirat dan sesudah kematian nanti adalah jauh lebih baik, lebih terpilih, dan lebih kekal abadi jika dibandingkan dengan kesenangan di dunia yang bersifat sementara dan sekejap.' (QS Al-An'am (6) ayat 32, At-Taubah (9) ayat 38, Al-A'la (87) ayat 17, dan Ad-Dhuha (93) ayat 4).
Kesenangan Yang Memperdaya
''Dan tiadalah kehidupan dunia itu melainkan kesenangan yang dapat memperdayakan.'' (QS Al-Imran: 185). Dalam Alquran, ayat serupa terdapat juga di surat Al-Hadid (57) ayat 20.
Dari kedua ayat ini dapat disimpulkan, kita disuruh waspada dan hati-hati terhadap kesenangan yang sifatnya sementara, baik kesenangan itu berasal dari harta benda, pangkat, kedudukan, anak istri, keturunan, dan lainnya. Kesemuanya adalah kehidupan dunia yang kalau tidak pandai memanfaatkannya sesuai dengan peraturan Allah SWT, maka kita akan tertipu, sehingga menjadi orang yang kufur dan sengsara, di dunia maupun akhirat. Lihat QS Al-Imran (3) ayat 56 dan Ar-Ra'd (13) ayat 34.
Dan sebaliknya, jika kita pandai memanfaatkan sesuai dengan aturan Allah SWT, maka kesenangan itu akan bersifat abadi. Kalau ada istilah yang sering kita dengar, apalah artinya hidup di dunia ini yang cuma sebentar, kalau mati, toh harta dan pangkat itu tak akan dibawa mati.
Sepintas lalu, pernyataan itu memang benar, tapi bila kita lihat lebih jauh, ungkapan itu keliru besar. Seseorang yang berpikiran demikian, akhirnya menyepelekan kehidupan dunia, baik berupa pangkat maupun harta.
Padahal, dengan perantaraan harta dan pangkat itu, seseorang akan dapat beramal saleh yang lebih luas jangkauan manfaatnya, sehingga kehidupan mereka selalu baik, baik di dunia maupun sesudah kematian nanti. Hal ini sesuai dengan doa di QS Al-Baqarah (2) ayat 201. ''Berikanlah kami (kehidupan) yang baik di dunia dan (kehidupan) yang baik di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.''
Memang, dalam Alquran banyak ayat yang mengatakan, 'Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai permainan dan kelalaian' dan 'bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai kesenangan yang sedikit, sebagai kesenangan yang memperdayakan,' dan yang senada lainnya.
Padahal, maksud semua itu adalah supaya kita berhati-hati, sehingga tidak diperdayakan oleh harta benda, pangkat, dan keturunan, yang menghiasi kehidupan dunia ini.
Kalau diperhatikan, kesenangan-kesenangan sementara itu, jika dibandingkan dengan kesengsaraan yang akan diperoleh sesudah kematian nanti, maka kesenangan di awal itu hanyalah sedikit sekali, sekejap, dan tidak bisa dirasakan lagi setelah kematian itu.
Karena itu, Alquran sering mengatakan, 'Kesenangan di dalam kehidupan yang ada di hari-hari yang kemudian atau di akhirat dan sesudah kematian nanti adalah jauh lebih baik, lebih terpilih, dan lebih kekal abadi jika dibandingkan dengan kesenangan di dunia yang bersifat sementara dan sekejap.' (QS Al-An'am (6) ayat 32, At-Taubah (9) ayat 38, Al-A'la (87) ayat 17, dan Ad-Dhuha (93) ayat 4).
Dari kedua ayat ini dapat disimpulkan, kita disuruh waspada dan hati-hati terhadap kesenangan yang sifatnya sementara, baik kesenangan itu berasal dari harta benda, pangkat, kedudukan, anak istri, keturunan, dan lainnya. Kesemuanya adalah kehidupan dunia yang kalau tidak pandai memanfaatkannya sesuai dengan peraturan Allah SWT, maka kita akan tertipu, sehingga menjadi orang yang kufur dan sengsara, di dunia maupun akhirat. Lihat QS Al-Imran (3) ayat 56 dan Ar-Ra'd (13) ayat 34.
Dan sebaliknya, jika kita pandai memanfaatkan sesuai dengan aturan Allah SWT, maka kesenangan itu akan bersifat abadi. Kalau ada istilah yang sering kita dengar, apalah artinya hidup di dunia ini yang cuma sebentar, kalau mati, toh harta dan pangkat itu tak akan dibawa mati.
Sepintas lalu, pernyataan itu memang benar, tapi bila kita lihat lebih jauh, ungkapan itu keliru besar. Seseorang yang berpikiran demikian, akhirnya menyepelekan kehidupan dunia, baik berupa pangkat maupun harta.
Padahal, dengan perantaraan harta dan pangkat itu, seseorang akan dapat beramal saleh yang lebih luas jangkauan manfaatnya, sehingga kehidupan mereka selalu baik, baik di dunia maupun sesudah kematian nanti. Hal ini sesuai dengan doa di QS Al-Baqarah (2) ayat 201. ''Berikanlah kami (kehidupan) yang baik di dunia dan (kehidupan) yang baik di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka.''
Memang, dalam Alquran banyak ayat yang mengatakan, 'Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai permainan dan kelalaian' dan 'bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai kesenangan yang sedikit, sebagai kesenangan yang memperdayakan,' dan yang senada lainnya.
Padahal, maksud semua itu adalah supaya kita berhati-hati, sehingga tidak diperdayakan oleh harta benda, pangkat, dan keturunan, yang menghiasi kehidupan dunia ini.
Kalau diperhatikan, kesenangan-kesenangan sementara itu, jika dibandingkan dengan kesengsaraan yang akan diperoleh sesudah kematian nanti, maka kesenangan di awal itu hanyalah sedikit sekali, sekejap, dan tidak bisa dirasakan lagi setelah kematian itu.
Karena itu, Alquran sering mengatakan, 'Kesenangan di dalam kehidupan yang ada di hari-hari yang kemudian atau di akhirat dan sesudah kematian nanti adalah jauh lebih baik, lebih terpilih, dan lebih kekal abadi jika dibandingkan dengan kesenangan di dunia yang bersifat sementara dan sekejap.' (QS Al-An'am (6) ayat 32, At-Taubah (9) ayat 38, Al-A'la (87) ayat 17, dan Ad-Dhuha (93) ayat 4).
Celupan Ilahi
Dalam pengertiannya yang umum (generik), Islam mengandung makna kepatuhan dan kepasrahan manusia secara total kepada Allah SWT. Doktrin kepatuhan kepada Allah SWT ini dapat dipandang sebagai hakikat atau intisari dari ajaran semua agama samawi yang dibawa oleh para Nabi sejak dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW.
Dalam pengertian ini, semua Nabi dan Rasul Allah disebut Muslim, yaitu orang yang tunduk patuh serta berserah diri secara total pada kehendak Allah SWT. Sikap mental Islam inilah yang dipesankan oleh Allah SWT kepada para Nabi dan seluruh kaum beriman.
''Katakanlah (hai orang-orang Mukmin), Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. '' (QS Al-Baqarah: 136).
Doktrin Islam berupa sikap mental tunduk patuh kepada Allah SWT seperti dikehendaki ayat di atas disebut Allah SWT sebagai shibghah Allah SWT yang secara harfiah berarti celupan Allah SWT. Shibghah Allah SWT ini dipandang sebagai celupan terbaik, tanpa tandingan, karena mampu membentuk pribadi Muslim yang tunduk patuh serta bersujud hanya kepada-Nya. ''Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah.'' (QS Al-Baqarah: 138).
Menurut ulama tafsir Al-Razi, agama Islam dinamakan shibghah Allah SWT atau celupan Ilahi karena dua alasan. Pertama, seperti celupan, agama itu harus meresap atau diresapi hingga menembus ke lubuk hati yang paling dalam. Kedua, seperti celupan, agama itu harus membentuk jati diri, sosok, bahkan warna (citra) diri yang khas karena iman dan kepatuhannya yang tulus kepada Allah SWT.
Dengan celupan agama itu, manusia membangun dirinya menjadi Muslim sejati yang dalam pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut harus diupayakan melalui enam program. Pertama, iman dengan keyakinan yang menggetarkan hati. Kedua, ibadah dengan ketundukan secara mutlak kepada Allah SWT.
Ketiga, sosial dengan membangun hubungan dan kerja sama yang baik dalam kebajikan dan takwa. Keempat, akhlak al-karimah dengan menjaga kesucian diri dan keluhuran budi pekerti.
Kelima, dakwah dengan mengajak manusia ke jalan Tuhan melalui taushiyah dan amar makruf nahi munkar. Keenam, ikhlas dengan mengorientasikan semua aktivitas demi dan untuk Allah SWT semata. Tanpa memperhatikan celupan Ilahi, manusia akan tertipu oleh barang tiruan, yaitu celupan palsu buatan manusia yang akan membawanya terjungkal ke dalam kawah kemusyrikan dengan dosa tanpa ampun.
Dalam pengertian ini, semua Nabi dan Rasul Allah disebut Muslim, yaitu orang yang tunduk patuh serta berserah diri secara total pada kehendak Allah SWT. Sikap mental Islam inilah yang dipesankan oleh Allah SWT kepada para Nabi dan seluruh kaum beriman.
''Katakanlah (hai orang-orang Mukmin), Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. '' (QS Al-Baqarah: 136).
Doktrin Islam berupa sikap mental tunduk patuh kepada Allah SWT seperti dikehendaki ayat di atas disebut Allah SWT sebagai shibghah Allah SWT yang secara harfiah berarti celupan Allah SWT. Shibghah Allah SWT ini dipandang sebagai celupan terbaik, tanpa tandingan, karena mampu membentuk pribadi Muslim yang tunduk patuh serta bersujud hanya kepada-Nya. ''Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah.'' (QS Al-Baqarah: 138).
Menurut ulama tafsir Al-Razi, agama Islam dinamakan shibghah Allah SWT atau celupan Ilahi karena dua alasan. Pertama, seperti celupan, agama itu harus meresap atau diresapi hingga menembus ke lubuk hati yang paling dalam. Kedua, seperti celupan, agama itu harus membentuk jati diri, sosok, bahkan warna (citra) diri yang khas karena iman dan kepatuhannya yang tulus kepada Allah SWT.
Dengan celupan agama itu, manusia membangun dirinya menjadi Muslim sejati yang dalam pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut harus diupayakan melalui enam program. Pertama, iman dengan keyakinan yang menggetarkan hati. Kedua, ibadah dengan ketundukan secara mutlak kepada Allah SWT.
Ketiga, sosial dengan membangun hubungan dan kerja sama yang baik dalam kebajikan dan takwa. Keempat, akhlak al-karimah dengan menjaga kesucian diri dan keluhuran budi pekerti.
Kelima, dakwah dengan mengajak manusia ke jalan Tuhan melalui taushiyah dan amar makruf nahi munkar. Keenam, ikhlas dengan mengorientasikan semua aktivitas demi dan untuk Allah SWT semata. Tanpa memperhatikan celupan Ilahi, manusia akan tertipu oleh barang tiruan, yaitu celupan palsu buatan manusia yang akan membawanya terjungkal ke dalam kawah kemusyrikan dengan dosa tanpa ampun.
Menahan Diri
Insan terlahir suci laksana kertas putih tanpa noda. Tugas besar manusia sepanjang alur hidupnya adalah menjaga kesucian diri itu. ''Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri.'' (QS al-A'la: 14, Asy-Syams: 9).
Oleh sebab itu, perlu perisai diri untuk menangkis segala yang bukan hanya dilarang Allah SWT (haram), namun juga yang syubhat (sesuatu yang belum tegas halal-haramnya). ''Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat, sesungguhnya ia telah berhasil mencari kebersihan bagi agamanya dan nama baiknya sendiri.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Perisai diri itu adalah sikap wara' yang secara harfiah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Ibrahim bin Adham mendefinisikan wara' sebagai, ''Meninggalkan semua syubhat dan apa-apa yang tidak berarti baginya, yaitu semua hal yang tidak berguna dan sia-sia.''
Singkatnya, wara' adalah kehatian-hatian diri dari segala yang dipakai maupun yang dimakan, bukan hanya terhadap sesuatu yang haram tapi juga sesuatu yang syubhat dan tak berguna. Sikap wara' banyak dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu. Sufyan al-Tsauri, misalnya, bila tidak menemukan makanan yang halal dan bersih, dia rela untuk tidak makan berhari-hari. Lalu, Ibn al-Mubarak pernah kembali dari Khurasan ke Syam hanya karena lupa mengembalikan pulpen yang dipinjam dari temannya.
Kemudian, Ibrahim bin Adham pula pernah kembali dari Palestina ke Basrah hanya untuk mengembalikan satu biji kurma karena itu tidak termasuk yang ditimbang dan dibelinya. Masalah selanjutnya adalah mungkinkah mempraktikkan sikap wara' dalam zaman sekarang ini yang hampir-hampir sulit sekali membedakan mana yang halal dan mana yang haram?
Wara' bukan sikap antipati, tapi sikap kritis. Sebab, sikap wara' hanya mungkin dijalankan dengan ilmu. Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, melihat pentingnya pengetahuan seseorang tentang hukum syariat, khususnya berkaitan dengan yang dikonsumsi. Karenanya, ilmu syariat yang berkaitan dengan halal-haramnya sesuatu tergolong ilmu yang wajib dipelajari.
Selain ilmu, wara' juga harus berdasarkan fakta, bukan dugaan kosong. Wara' yang ekstrem, seperti melihat dunia seluruhnya sebagai syubhat, menjadikan seseorang meninggalkan dunia tanpa melihat kehalalan dan keharaman, termasuk sifat yang mengada-ada. ''Binasalah al-mutanaththiun (orang yang suka mengada-ada),'' sabda Nabi SAW. Hakikat wara' terletak pada sikap kritis dalam memilih dan memilah berlandaskan pada ilmu dan fakta.
Wara' bukan sesuatu yang mustahil untuk diaktualkan. Wara' hanya mustahil dilaksanakan oleh jiwa-jiwa yang telah terasuki sikap tamak (rakus) terhadap dunia.
Oleh sebab itu, perlu perisai diri untuk menangkis segala yang bukan hanya dilarang Allah SWT (haram), namun juga yang syubhat (sesuatu yang belum tegas halal-haramnya). ''Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat, sesungguhnya ia telah berhasil mencari kebersihan bagi agamanya dan nama baiknya sendiri.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Perisai diri itu adalah sikap wara' yang secara harfiah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Ibrahim bin Adham mendefinisikan wara' sebagai, ''Meninggalkan semua syubhat dan apa-apa yang tidak berarti baginya, yaitu semua hal yang tidak berguna dan sia-sia.''
Singkatnya, wara' adalah kehatian-hatian diri dari segala yang dipakai maupun yang dimakan, bukan hanya terhadap sesuatu yang haram tapi juga sesuatu yang syubhat dan tak berguna. Sikap wara' banyak dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu. Sufyan al-Tsauri, misalnya, bila tidak menemukan makanan yang halal dan bersih, dia rela untuk tidak makan berhari-hari. Lalu, Ibn al-Mubarak pernah kembali dari Khurasan ke Syam hanya karena lupa mengembalikan pulpen yang dipinjam dari temannya.
Kemudian, Ibrahim bin Adham pula pernah kembali dari Palestina ke Basrah hanya untuk mengembalikan satu biji kurma karena itu tidak termasuk yang ditimbang dan dibelinya. Masalah selanjutnya adalah mungkinkah mempraktikkan sikap wara' dalam zaman sekarang ini yang hampir-hampir sulit sekali membedakan mana yang halal dan mana yang haram?
Wara' bukan sikap antipati, tapi sikap kritis. Sebab, sikap wara' hanya mungkin dijalankan dengan ilmu. Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, melihat pentingnya pengetahuan seseorang tentang hukum syariat, khususnya berkaitan dengan yang dikonsumsi. Karenanya, ilmu syariat yang berkaitan dengan halal-haramnya sesuatu tergolong ilmu yang wajib dipelajari.
Selain ilmu, wara' juga harus berdasarkan fakta, bukan dugaan kosong. Wara' yang ekstrem, seperti melihat dunia seluruhnya sebagai syubhat, menjadikan seseorang meninggalkan dunia tanpa melihat kehalalan dan keharaman, termasuk sifat yang mengada-ada. ''Binasalah al-mutanaththiun (orang yang suka mengada-ada),'' sabda Nabi SAW. Hakikat wara' terletak pada sikap kritis dalam memilih dan memilah berlandaskan pada ilmu dan fakta.
Wara' bukan sesuatu yang mustahil untuk diaktualkan. Wara' hanya mustahil dilaksanakan oleh jiwa-jiwa yang telah terasuki sikap tamak (rakus) terhadap dunia.
Meluruskan Niat
''Sesungguhnya, amalan-amalan itu tergantung niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang diniatkannya. Maka, barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya diterima Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa yang niat hijrahnya untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu akan sampai pada yang diniatkannya.'' (HR Bukhari Muslim).
Niat dalam aktivitas setiap Muslim sangat penting, sehingga Imam Nawawi menempatkan hadis tersebut pada urutan pertama dalam kumpulan 41 hadis tentang kaidah-kaidah agung agama Islam yang biasa dikenal dengan hadis arbain.
Secara bahasa, niat berarti kehendak atau tujuan. Secara syara', niat berarti kehendak atau keinginan kuat yang diikuti dengan tindakan nyata. Esensi niat adalah tempat tujuan aktivitas dilakukan, bukan cara penyampaiannya. Niat secara lisan akan tetapi ditujukan kepada Allah SWT lebih baik daripada niat dalam hati, tetapi tidak sepenuhnya ditujukan kepada Allah SWT. Demikian pula sebaliknya.
''Aku adalah paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang melaksanakan amalan yang di dalamnya ia mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku berlepas diri darinya.'' (HR Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Al Baihaqi).
Sebuah aktivitas bernilai ibadah atau tidak tergantung dari niatnya. Sebagai contoh: Makan, belajar, tidur adalah aktivitas biasa, tetapi bila aktivitas itu hanya ditujukan kepada Allah SWT dan keridhaan-Nya, maka akan bernilai ibadah dan berpahala.
Namun, aktivitas yang dinamakan ibadah akan menjadi aktivitas biasa tanpa pahala ketika ditujukan kepada makhluk-Nya. Sebagai contoh: shalat sunah dan sedekah adalah ibadah, tetapi bila dilakukan hanya pada saat dilihat temannya, atasannya, atau orang lain, maka hanya menjadi aktivitas yang tak berpahala. Bahkan, bisa menghadirkan kemurkaan Allah SWT.
Terkadang ada yang salah kaprah menafsirkan sabda Rasulullah SAW ''Segala sesuatu tergantung niatnya'' itu. Sebagai contoh, orang yang salah kaprah atau semaunya sendiri akan menafsirkan melihat pornografi dan pornoaksi diperbolehkan dengan niat mentadabburi keindahan ciptaan Allah SWT. Padahal sudah jelas, pornografi dan pornoaksi adalah haram.
Demikian pula, penafsir yang semaunya sendiri itu tidak akan menganggap berdosa menyuap pejabat untuk meloloskan seleksi CPNS. Mereka berdalih menyuap itu diniatkan agar setelah bekerja nanti mempunyai penghasilan cukup dan keluangan waktu yang bisa menjaga keberlangsungan dakwah. Salah satu indikator bahwa niat kita lurus untuk Allah adalah ketika dilihat orang lain atau tidak, apakah semangat dan kualitas amalan kita tetap sama.
Niat dalam aktivitas setiap Muslim sangat penting, sehingga Imam Nawawi menempatkan hadis tersebut pada urutan pertama dalam kumpulan 41 hadis tentang kaidah-kaidah agung agama Islam yang biasa dikenal dengan hadis arbain.
Secara bahasa, niat berarti kehendak atau tujuan. Secara syara', niat berarti kehendak atau keinginan kuat yang diikuti dengan tindakan nyata. Esensi niat adalah tempat tujuan aktivitas dilakukan, bukan cara penyampaiannya. Niat secara lisan akan tetapi ditujukan kepada Allah SWT lebih baik daripada niat dalam hati, tetapi tidak sepenuhnya ditujukan kepada Allah SWT. Demikian pula sebaliknya.
''Aku adalah paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang melaksanakan amalan yang di dalamnya ia mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku berlepas diri darinya.'' (HR Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Al Baihaqi).
Sebuah aktivitas bernilai ibadah atau tidak tergantung dari niatnya. Sebagai contoh: Makan, belajar, tidur adalah aktivitas biasa, tetapi bila aktivitas itu hanya ditujukan kepada Allah SWT dan keridhaan-Nya, maka akan bernilai ibadah dan berpahala.
Namun, aktivitas yang dinamakan ibadah akan menjadi aktivitas biasa tanpa pahala ketika ditujukan kepada makhluk-Nya. Sebagai contoh: shalat sunah dan sedekah adalah ibadah, tetapi bila dilakukan hanya pada saat dilihat temannya, atasannya, atau orang lain, maka hanya menjadi aktivitas yang tak berpahala. Bahkan, bisa menghadirkan kemurkaan Allah SWT.
Terkadang ada yang salah kaprah menafsirkan sabda Rasulullah SAW ''Segala sesuatu tergantung niatnya'' itu. Sebagai contoh, orang yang salah kaprah atau semaunya sendiri akan menafsirkan melihat pornografi dan pornoaksi diperbolehkan dengan niat mentadabburi keindahan ciptaan Allah SWT. Padahal sudah jelas, pornografi dan pornoaksi adalah haram.
Demikian pula, penafsir yang semaunya sendiri itu tidak akan menganggap berdosa menyuap pejabat untuk meloloskan seleksi CPNS. Mereka berdalih menyuap itu diniatkan agar setelah bekerja nanti mempunyai penghasilan cukup dan keluangan waktu yang bisa menjaga keberlangsungan dakwah. Salah satu indikator bahwa niat kita lurus untuk Allah adalah ketika dilihat orang lain atau tidak, apakah semangat dan kualitas amalan kita tetap sama.
Mempersiapkan Kematian
Manusia lahir ke dunia dari sebelumnya tidak ada. Namun, setelah lahir, ia mencintai hidup dan kehidupannya. Lalu ia dihadapkan pada kenyataan, yakni kematian, batas akhir hidup yang senang atau tidak senang harus dijalaninya, sebagaimana kelahiran itu sendiri.
Kematian adalah keniscayaan hidup. Dan kematian merupakan pasangan dari kehidupan. Kegelisahan muncul bila diajukan pertanyaan, kapan kematian itu datang? Kematian datang pada tiap jiwa bak pencuri, yang menyelinap masuk lalu keluar menggondol ruh kehidupan dengan meninggalkan jasad yang tergolek tak berdaya. Kemudian, hidup terasa terlalu singkat. Banyak pekerjaan dan kewajiban yang belum terselesaikan.
Oleh karena itu, kematian identik dengan tragedi yang menorehkan kesedihan bagi yang ditinggalkan. ''Kematian pasti menyambangi tiap diri yang berjiwa.'' (QS Al-Anbiya: 35). Malaikat maut sangat dingin mencabut sukma, tak pandang tua atau muda, dan tak ada penundaan walau sejenak. Apabila ajal manusia menjelang, maka tak ada penundaan dan percepatan. (QS Yunus: 49 dan QS An-Nahl: 61).
Kematian menjadi rahasia Allah SWT yang misterius agar ia menjadi lampu kuning bagi manusia supaya tidak ceroboh dalam mengisi hidup yang sementara ini. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Aku tinggalkan bagi kalian dua pemberi peringatan. Yang pertama memberikan peringatan dengan pembicaraannya. Yang kedua memberikan peringatan dengan kebisuannya. Yang pertama adalah Alquran dan yang kedua adalah kematian.''
''Katakanlah, sesungguhnya kematian yang dari situ kalian melarikan diri, sesungguhnya ia akan menemuimu juga.'' (QS Al-Jumu'ah: 8). Meskipun demikian, kualitas takut akan kematian berbeda-beda. Ada yang takut mati karena ketenggelamannya dalam dunia. Tapi, ada pula yang takut mati karena belum merasa cukup bekal. Takut tipe kedualah yang patut dipelihara. Kualitas kematian sangat ditentukan oleh kesadaran (ketakutan) akan kematian itu. Sehingga, ada dua macam kematian, kematian yang membuat dirinya istirahat dan kematian yang membuat orang lain istirahat.
Bagi orang beriman, kematian menjadi istirahat panjang di tempat yang penuh damai. Kematian yang disambut senyuman sang mayat dan diiringi tangisan dari pelayat. Buat pendurhaka, kematian membuat semua makhluk beristirahat dari gangguannya. Kematian yang meledakkan tangis penyesalan sang mayat di liang kuburnya, tapi sekaligus disyukuri oleh semua manusia. Lalu, manakah macam kematian yang kita pilih sebagai penghujung catatan akhir hidup kita? ''Dia yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.'' (QS Al-Mulk: 2).
Kematian adalah keniscayaan hidup. Dan kematian merupakan pasangan dari kehidupan. Kegelisahan muncul bila diajukan pertanyaan, kapan kematian itu datang? Kematian datang pada tiap jiwa bak pencuri, yang menyelinap masuk lalu keluar menggondol ruh kehidupan dengan meninggalkan jasad yang tergolek tak berdaya. Kemudian, hidup terasa terlalu singkat. Banyak pekerjaan dan kewajiban yang belum terselesaikan.
Oleh karena itu, kematian identik dengan tragedi yang menorehkan kesedihan bagi yang ditinggalkan. ''Kematian pasti menyambangi tiap diri yang berjiwa.'' (QS Al-Anbiya: 35). Malaikat maut sangat dingin mencabut sukma, tak pandang tua atau muda, dan tak ada penundaan walau sejenak. Apabila ajal manusia menjelang, maka tak ada penundaan dan percepatan. (QS Yunus: 49 dan QS An-Nahl: 61).
Kematian menjadi rahasia Allah SWT yang misterius agar ia menjadi lampu kuning bagi manusia supaya tidak ceroboh dalam mengisi hidup yang sementara ini. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Aku tinggalkan bagi kalian dua pemberi peringatan. Yang pertama memberikan peringatan dengan pembicaraannya. Yang kedua memberikan peringatan dengan kebisuannya. Yang pertama adalah Alquran dan yang kedua adalah kematian.''
''Katakanlah, sesungguhnya kematian yang dari situ kalian melarikan diri, sesungguhnya ia akan menemuimu juga.'' (QS Al-Jumu'ah: 8). Meskipun demikian, kualitas takut akan kematian berbeda-beda. Ada yang takut mati karena ketenggelamannya dalam dunia. Tapi, ada pula yang takut mati karena belum merasa cukup bekal. Takut tipe kedualah yang patut dipelihara. Kualitas kematian sangat ditentukan oleh kesadaran (ketakutan) akan kematian itu. Sehingga, ada dua macam kematian, kematian yang membuat dirinya istirahat dan kematian yang membuat orang lain istirahat.
Bagi orang beriman, kematian menjadi istirahat panjang di tempat yang penuh damai. Kematian yang disambut senyuman sang mayat dan diiringi tangisan dari pelayat. Buat pendurhaka, kematian membuat semua makhluk beristirahat dari gangguannya. Kematian yang meledakkan tangis penyesalan sang mayat di liang kuburnya, tapi sekaligus disyukuri oleh semua manusia. Lalu, manakah macam kematian yang kita pilih sebagai penghujung catatan akhir hidup kita? ''Dia yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.'' (QS Al-Mulk: 2).
Mawas Diri
Di sepanjang zaman, kemiskinan menjadi momok bagi manusia. Karena, ketiadaan materi identik dengan kesusahan dan kehinaan. Karena itu pula, dari dulu hingga kini, manusia berlomba cemburu materi untuk membunuh kemiskinan. Hal itu manusiawi karena kecintaan kepada materi adalah fitrah manusia.
''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang baik.'' (QS Ali-Imran: 14). Harta atau materi memang hal yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan kita. Tapi, jelas tersurat di akhir ayat di atas bahwa harta bukanlah segalanya. Semua itu hanya untuk kesenangan dunia yang tak akan dibawa saat kembali ke haribaan-Nya.
Karena itu janganlah sampai kesibukan mencari harta benda membuat kita lalai untuk beribadah kepada-Nya. Dalam Alquran diceritakan seorang ahli ibadah yang karena kepentingan-kepentingan materi akhirnya tidak taat lagi kepada Allah SWT. ''Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti setan (sampai tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.'' (QS Al- A'raf: 175).
Becermin dari ayat di atas, kita saksikan banyak orang yang ketika miskin sangat rajin beribadah kepada Allah SWT. Tetapi, setelah kaya mereka meninggalkan ibadah karena terlalu sibuk dengan kekayaannya. Inilah tanda-tanda orang yang lupa diri yang sering berujung dengan kesombongan dan takabur, sifat yang dibenci Allah SWT. Qarun adalah contoh konkret akan sifat orang kaya yang lupa diri itu.
Seperti tertera di surat Al-Qashash ayat 76 sampai 82, Qarun yang sombong mengatakan bahwa harta benda yang dimilikinya adalah hasil pengetahuannya sendiri. Akhirnya Allah SWT membenamkannya ke dalam bumi bersama harta bendanya. Jadilah Qarun orang yang merugi. Jangan sampai kita tersesat seperti Qarun. Untuk itu kita harus mawas diri. Dengan mawas diri, kita tidak akan sombong bila dikaruniai banyak harta. Sebaliknya tidak akan terlampau sedih bila diuji dengan kemiskinan.
Itulah ciri-ciri orang yang bertakwa. Dan memang hanya orang bertakwa yang akan selamat dari dunia sampai akhirat. ''Itulah kampung akhirat, Kami adakan untuk orang-orang yang tidak sombong di muka bumi dan tiada membuat bencana. Akibat (yang baik), untuk orang-orang yang takwa.'' (QS Al-Qashash: 83).
''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang baik.'' (QS Ali-Imran: 14). Harta atau materi memang hal yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan kita. Tapi, jelas tersurat di akhir ayat di atas bahwa harta bukanlah segalanya. Semua itu hanya untuk kesenangan dunia yang tak akan dibawa saat kembali ke haribaan-Nya.
Karena itu janganlah sampai kesibukan mencari harta benda membuat kita lalai untuk beribadah kepada-Nya. Dalam Alquran diceritakan seorang ahli ibadah yang karena kepentingan-kepentingan materi akhirnya tidak taat lagi kepada Allah SWT. ''Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti setan (sampai tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.'' (QS Al- A'raf: 175).
Becermin dari ayat di atas, kita saksikan banyak orang yang ketika miskin sangat rajin beribadah kepada Allah SWT. Tetapi, setelah kaya mereka meninggalkan ibadah karena terlalu sibuk dengan kekayaannya. Inilah tanda-tanda orang yang lupa diri yang sering berujung dengan kesombongan dan takabur, sifat yang dibenci Allah SWT. Qarun adalah contoh konkret akan sifat orang kaya yang lupa diri itu.
Seperti tertera di surat Al-Qashash ayat 76 sampai 82, Qarun yang sombong mengatakan bahwa harta benda yang dimilikinya adalah hasil pengetahuannya sendiri. Akhirnya Allah SWT membenamkannya ke dalam bumi bersama harta bendanya. Jadilah Qarun orang yang merugi. Jangan sampai kita tersesat seperti Qarun. Untuk itu kita harus mawas diri. Dengan mawas diri, kita tidak akan sombong bila dikaruniai banyak harta. Sebaliknya tidak akan terlampau sedih bila diuji dengan kemiskinan.
Itulah ciri-ciri orang yang bertakwa. Dan memang hanya orang bertakwa yang akan selamat dari dunia sampai akhirat. ''Itulah kampung akhirat, Kami adakan untuk orang-orang yang tidak sombong di muka bumi dan tiada membuat bencana. Akibat (yang baik), untuk orang-orang yang takwa.'' (QS Al-Qashash: 83).
Langganan:
Postingan (Atom)